Gadis cantik
ini termenung mengamati bayangan dirinya dalam cermin, tak henti-hentinya
dilakukan Icha. Sesekali ia mengernyitkan dahinya dan kembali Mual. Dampak dari
perbuatannya dengan pacarnya. Sekarang terlihat sudah, hasil tes hari ini
menyatakan ia positif hamil. Alex tergangga memandang kekasihnya. Menyesali
yang terjadi.
“Aborsi aja udah,” ujar Alex menghela
nafasnya.
Airmata Icha merebak dan bergulir di
pipinya.
“Gampang banget kamu ngomong gitu,
aku yang
harus nanggung semua ini sendiri.
Mana
tanggungjawabmu sebagai laki-laki?”
Untuk siswa
SMA seperti mereka, tidak mungkin memilih berhenti sekolah untuk mempertanggngjawabkan
kesalahan mereka dengan ikatan pernikahan. Bulan depan mereka akan melaksanakan
Ujian Nasional (UN), meskipun Icha masih bisa menyembunyikan perutnya yang
mulai membesar. Tetap saja keluarganya harus mengetahui beban yang saat ini dipikulnya.
Belum lagi dengan Alex yang
bersih kukuh agar wanita yang di
hamilinya ini melakukan segala cara agar kehamilannya tidak menjadi masalah besar
bagi mereka.
Jabatan
sebagai ketua OSIS di sekolahnya dapat memperburuk attitude Alex, kalau saja
seisi sekolah mengetahui aib mereka berdua. Begitu juga dengan Icha, sebagai
siswi yang paling cerdas dan teladan di sekolahnya. Tak mungkin gurunya dan
temannya akan memakinya sebagai gadis yang selama ini terkenal sebagai murid
terbaik ternyata begitu cerdas
menyimpan bangkai. Beasiswa ke universitas untuknya
mungkin ikut terancam. Namun
bagaimanpun segala sesuatu yang baik di dunia ini takkan pernah berlangsung
lama dan tiada satupun manusia di dunia ini yang tidak luput dari dosa dan
khilaf.
“Tanggungjawab seperti apa? kita
masih sekolah say, masa depan kita masih panjang,” ungkap Alex penuh emosi.
Kebinggungan sepenuhnya
merasuki pikirannya.
“Seharusnya aku yang bilang gitu. Mana
omonganmu waktu itu, ingat kamu yang maksa aku buat ngelakuin itu,” bantah Icha
“Kamu pikir aborsi akan merubah
segalanya?” bantahnya lagi seolah saling menyalahkan.
“Tanggungjawab nggak harus
married’kan? Kalau kamu cerdas, kenapa waktu itu kamu gak nyadarin aku? cewek
itu yang seharusnya punya kendali untuk hal seperti itu?” Alex kembali menyalahkan.
“lagipula kita beda agama, nggak mungkin
kita bersatu.” suaranya melemahnya saat berpaling ke arah Icha
Alex berlalu
meninggalkan Icha sendiri. Siswi yang saat ini sangat menyesali perbuatannya,
menghapus airmatanya dan mencoba berhenti menyalahkan dirinya. Icha Menyadari
hanya akan membawa masalah baru jika mereka masih saling melempar masalah. Ia
harus lebih bijak daripada Alex. Musibah ini bukan kecelakaan seperti yang
dikatakan Alex. Anjing yang sekalipun melakukan hubungan seperti itu, apakah
bisa di sebut sebagai sebuah kecelakaan? Itu tidak terjadi begitu saja, semua
terjadi atas kesadaran mereka masing-masing yang saling mencintai dan akhirnya
mengikuti hawa nafsu.
Yang bisa menyelamatkan posisi Icha
adalah dirinya sendiri. Kalau ia menyembunyikan terlalu lama malah akan
menciptakan musibah baru yang dapat membuatnya semakin tertekan. Keluarganya
harus tahu, walau harus kecewa
dengan gadis yang selama ini
dibanggakan. Dipukul pun tak apa baginya, asalkan ia tidak membiarkan dirinya
jatuh kedalam lubang yang salah untuk kedua kalinya. Ia bertekad untuk tidak
aborsi dan akan menanggung kesalahannya. Segalanya belum berakhir baginya.
Harta berharga dari dirinya telah hilang begitu saja, namun ia harus menata
kembali masa depannya.
“Gila! Kalau kamu lapor keluargamu.
Masalahnya makin rumit, say. Mereka bakal ngelapor ke sekolah dan kita harus
get out dari sekolah ini,” ujar Alex saat Icha menemuinya latihan.
“Nggak ada jalan lain. Kamu
laki-laki, lex. Aku cuma mau kamu bersikap lebih bijak.” Tutur Icha berharap. Betapa
egonya Alex baginya.
“Aborsinya bisa pakai jamu, minuman
bersoda, tape, atau apa kek kalau kamu nggak mau ke dokter aborsi,” balas Alex
acuh.
“ banyak tuh obat aborsi di internet,
cari cara gampang, why
not?” ucapnya Alex dengan mudah
Hati Icha saat itu tersayat pilu.
Ingin berteriak dan menampar wajah laki-laki yang dahulu sangat ia cintai.
Tetapi Icha berusaha menahan perih dan airmatanya.
“Seandainya kamu ada posisiku, sakit
lex, sakiiit.“ ungkap Icha meyakinkan kesedihan yang melekat erat dalam
dirinya.
“Kalau aku yang hamil, ya it’s
impossible. Kalau pun iya, aborsilah!” seru Alex meninggalkan Icha, tanpa raut
rasa bersalah.
Terisak keras dalam batin. Mengutuki nasibnya. Cinta yang
selama ini ia pertahankan meninggalkan seribu sesal. Kata-kata manis yang
sering dituangkan Alex untukknya terlanjur membuahkan kebencian. Harapannya agar Alex mau bersama-sama mengakui
kesalahan dan kenistaaan mereka di depan keluarga mereka masing-masing sudah
cukup mengurangi beban Icha. Namun Alex tidak akan mau melakukannya. Bagi Alex,
itu bukan solusi tapi sebuah ancaman.
Icha berjalan
menelusuri koridor sekolah yang hampir sepi. Beberapa siswa telah berpulangan, hanya
tersisa beberapa guru yang sibuk mengurus rapat UN. Entah apa yang dipikirkannya,
ia tetap memandang lurus ke arah Raka yang sedang menantinya.
“Cha, coba lihat ini?” ujar Raka
memulai percakapan mereka sembari menyodorkan
majalah yang memuat beasiswa untuk
perguruan tinggi.
“Oh,” sahut Icha lemah.
Ini bukan sesuatuyang patut
didiskusikan karena ia ragu gurunya menolak membantunya mendapatkan beasiswa itu
jika nanti mengetahui kehamilannya.
“Aku punya masalah, Ka.” lanjutnya.
Sorot matanya menerawang menatap Raka.
Saat seperti ini, ia butuh penyemangat
dirinya oleh sahabatnya. Ia menangis sejadi-jadinya di depan Raka, sahabatnya
itu. Raka mentenangkannya dan mengajaknya menceritakan apa yang membuat gadis
yang dicintainya menangis terisak. Semoga bukan tentang Alex. Karena sudah
banyak keluhan tentang perlakuan Alex. Tapi, kali ini Raka harus menguras
otaknya mencari jalan
keluar untuk Icha.
“Kakak perempuanku juga pernah
sepertimu. Ia lebih terpuruk ketimbang kamu. Bahkan kamu lebih tegar dari dia,”
ucap Raka menunduk kecewa terhadap perbuatan wanita yang ia cintai selama ini.
Bagaimanapun terbukanya Icha , Raka juga
harus lebih terbuka. Kekecewaan nampak diwajah polos Raka, gadis yang
dicintainya diam-diam telah kehilangan keperawanannya oleh lelaki seperti Alex.
“kalaupun tanpa Alex, setidaknya kamu
berani mengatakannya seorang
diri kepada keluargamu. Semuanya akan
baik-baik, jika kamu merasa cukup berani.”
Tidak semudah
itu Raka. Icha sudah lebih dulu memikirkannya bahkan hari-harinya habis untuk
memikirkan jalan keluar yang nantinya tidak menyakiti siapapun. Entahlah, nasi
sudah menjadi bubur. Meski begitu, bumi harus tetap berputar.
Raka melanjutkan bicara “Ia bunuh
diri. Syukurlah ia masih diijinkan untuk
hidup dan cabang bayinya masih bisa
diselamatkan.” Ungkap Raka. Setitik airmata
ikut menari di pipinya. Perlahan ia menyembunyikan
wajahnya dari tatapan Icha.
Tangisan Raka berada bukan hanya
mengenang masa lalu kakak perempuannya, tetapi menyesali dirinya yang payah.
Tak mampu melindungi gadis yang dicintainya selama ini dan ia merasa tidak jauh
berbeda dari seorang pecundang, hanya mampu mencintai diam-diam.
“Penyakit jantung ayahku kambuh
karena peristiwa bunuh diri itu. Ayahku meninggal dan sampai sekarang ibuku
tidak mau sedikitpun bertegur sapa dengan
kakakku.” terlihat hancurnya keluarga
Raka dari penuturannya.
Raka terus bercerita. Setidaknya Icha
tidak mengambil keputusan yang salah seperti kakak perempuan Raka. Icha mengeluskan
pundak Raka. Mereka saling membagi duka. Icha tergerak untuk mengakuinya meski
tanpa Alex. Kekasihnya itu sudah ia hilangkan dari ingatannya. Ia mencoba untuk
tidak menitip dendam. Karena sekarang yang ia butuhkan adalah kehidupan yang
tenang tanpa pecundang seperti Alex.
Pikiran Raka melayang ke masa lalu. Ia telat selangkah dari Alex.
Laki-laki pemalu seperti dirinya, hanya bisa menjaga dan mengagumi Icha. Kini,
ia merasa sangat bersalah ketimbang Icha. Ia tidak bisa menjaga Icha sesempurna
yang ia harapkan.
Orangtua Icha
memandang dalam putrinya yang kini sedang berlutut. Pengakuan Icha nyatanya
menimbulkan kekecewaan untuk orangtuanya. Seperti yang dipikirkan Icha. Mereka
menangis dan sangat kecewa. Menjaga anak perempuan seperti menjaga singa yang galak.Tidak
semudah yang pikirkan selama ini.
Terjadi Kesalahan itu adalah sebuah
pelajaran berharga bukan penghalang.
“Bagaimanapun, bayi itu itu juga
berasal dari sangcipta.” ucap ibu Icha menyadarkan ayah Icha.
“kita tidak seharusnya terus
menyalahkan Icha. Dia memang membuat kita sangat kecewa. Tapi keberanian untuk mengakuinya,
itu sudah menunjukkan kalau kita
tidak boleh dengan gelap mata melihat
kesalahannya.”
Ayah Icha memegang kepalanya dengan kedua
tangannya. Kemudian menangis di bahuistrinya. Memahami Icha sudah bertanggungjawab
atas kesalahannya. Putrinya
tahu kalau jika ia mengakuinya di
depan orangtuanya tentu akan membuat keluarganya shock setengah mati. Keputusan
untuk tidak aborsi ataupun bunuh diri nyatanya masih menunjukkan bahwa masalah
apapun tidak akan merubah sosok Icha, sosok yang masih patut dibanggakan karena
tanggungjawabnya.
Berhari-hari
sudah masalah itu dipendam olehnya dan keluarga Icha. Demi masa depan Icha,
keluarganya akan mendatangi keluarga Alex setelah masa UN selesai dilaksanakan.
Mereka juga tidak menuntut pernikahan Karena mereka menyadari perbedaan
keyakinan diantara keduanya. Sangat jelas, bahwa keluarga itu begitu terpukul.
Hanya pertanggungjawaban untuk masa depan cabang bayi yang tengah
dikandung oleh Icha yang diperlukan
oleh keluarga Icha.
Dunia harus tetap berputar Keluarga
Icha mencari laki-laki yang seagama untuk menikahi Icha, hal itu di lakukan
Karena adanya si jabang bayi ini, dan Icha harus tetap melanjutkan pendidikan, setelah
ia menemukaan laki-laki yang baik hati mau menikahkan nya. Akhirnya Raka lah
yang siap menikahi Icha, gadis yang selama ini ia cintai. Raka mau menikahinya
dan menerima semua keadaan Icha dengan ikhlas, Karena Raka memang sangat
mencintai dan mengaggumi Icha. Keadaan buruk apapun saat ini yang di lakukan
icha. Entah kenapa Raka masih mencintainya.
Kelulusan
pun sudah di beritakan, mahasiswa dan mahasiswi yang lulus pada saat itu sibuk
untuk memperbincangkan kelanjutan dari kelulusannya. Terkecuali Icha yang masih
mengenang perbuatan bodohnya itu. Mungkin saja jika ia tidak berpacaran dengan
Alex, atau laki-laki siapapun, ia tak akan merasakan kehancurannya saat ini.
Pergaulan
bebas yang ia ikuti selama ini membuatnya menyesal setengah mati. Kepopuleran
Icha di sekolah maupun di social media tak membuatnya menjadi terbantu, bahkan
Karena kepopuleran ini yang membuat ia merasakan pahitnya hidup yang ia rasakan
saat ini. Teman-teman yang selama ini ia harapkan untuk memberi semangat kepada
dirinya, di saat ia terjatuh, justru pergi menjauh dan mulai meninggalkan Icha.
Sebagian mereka banyak yang berkata betapa bodohnya icha Karena masih mempertahankan
bayi yang ia kandungnya saat itu. Sedangkan kabar laki-laki yang telah membuat
ia seperti ini. Tak tau seperti apa dan bagaimana. Karena tak penting lagi
menurutnya untuk mencari tahu informasi laki-laki pecundang seperti Alex. Kini
Icha hanya bisa meratapi nasibnya Karena ulahnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar